Tulis disini: marufabadi@gmail.com

Judul*:Cerpen "Semangat Bocah Tuna Netra"
Isi*:"Sialan upacara lagi…" Perkenalkan namaku Airin, siswi kelas dua SMA Negri di daerah ibukota. Kebiasaanku disetiap Senin pagi adalah seperti ini, terlambat bangun akibatnya terlambat ke sekolah dan alhasil di hukum karena tidak mengikuti upacara. Opiniku apa pentingnya upacara setiap hari senin secara rutin, tetapi pada hari Nasional tidak diadakan upacara. Dan masih banyak kita jumpai tawuran antar siswa. Kesimpulannya upacara tidak terlalu mendukung perkembangan dari sikap anak muda jaman sekarang. Meskipun ada "Pembicara" yang selalu ngoceh panjang lebar di tengah peserta upacara. Dan hasilnya nihil siswa yang bprestasi makin dipuji, dan yang tidak beretika selalu saja disalhkan. "Aaairiin, cepatlah Nak. Bapakmu sudah menunggu !" panggil ibu memecah omelanku di pagi keramat itu.
Nasib di Senin pagi yang keramat itu selalu sama. Kalau tidak terlambat ya dihukum. Tampilanku sangat kacau balau, rambut berantakan, baju seragam tidak rapi, kaos kaki miring sebelah, tali sepatu belum diikat, dan parahnya tidak memakai dasi. Dan Ibu Piket yang selalu memeberiku sarapan pagi yang lezat sekali, lari lapangan basket sebanyak 10 putaran. Mungkin karena aku atlet lari setiap hari Senin, jadi aku sudah biasa dengan sarapan yang seperti ini. Bau kecutpun terasa dari sekujur tubuhku. Akupun merasa jijik dengan keberadaanku saat itu.
***
Hari ini adalah hari Senin pada minggu kedua di bulan penuh cinta Februari. Tetapi nasibku kali ini tidak sesial hari Senin biasanya. Dikarenakan sekolah di liburkan, dan kami sekeluarga pergi untuk berlibur. Ayahku adalah sosok orang yang sangat peduli terhadap lingkungan social yang ada di sekitarnya. Nasib memiliki ayah seperti ini adalah setiap liburan pasti berkunjung ke tempat kumuh dan kurang perhatian pada segi pendidikan. Padahal aku kan ingin pergi berlibur ke tempat mewah, menyenangkan, dan nyaman untuk liburan. Tetapi ya sudahlah, ayah selalu berkata "Dari pada menhamburkan ke tempat yang tidak penting, lebih baik kita membantu sesame yang membutuhkan pertolongan. Harusnya kamu bersyukur bisa sekolah di tempat yang bagus dan nyaman. Coba kamu lihat kebawah banyak yang tidak seberuntung kamu, bahkan mereka tidak bersekolah. Orang tua mereka tidak memperdulikan tentang pendidikan karena pandangannya mereka semuab sama akhirnya hanya akan menjadi buruh saja. Oleh karena itu kalau bukan ayah yang membantu mereka, siapa lagi !" dan begitu seterusnya ceramah ayah panjang dan lebar, yang selalu kutanggapi dengan mulut mayun dan tangan bersilangkan di dada.
Pagi itu kami berkunjung ke daerah sekitar rel kereta api, tempatnya bau dan kumuh. Rumah kardus dimana-mana, tidak tersusun rapi. Anak kecil berkeliaran sesuka hati mereka menikmati masa kecil mereka dengan bermain dan berlarian. Tetapi ada suatu pemandangan yang sangat menarik perhatianku saat itu. Anak-anak kecil itu berlati menuju sebuah gubuk yang lumanyan besar dan seperti di beri sekat antar ruangan, dan ada tiang bambu setinggi 10 meter di depan gubuk itu. Dan ada bendera merah putih berkibar dengan gagahnya di ujung tiang bambu itu. Sudah bisa ku tebak bahwa ini adalah sekolah, karena rata-rata bentuk sekolah di pemukiman kumuh memang seperti itu bentuknya. Tetapi ada hal yang sangat membuatku penasaran apa yang mereka lakukan di pagi itu. Bukan hanya anak murid yang berkumpul di depan sekolah tersebut tetapi seperti orang tua wali pun ikut berkumpul, dan membentuk barisan menghadap kepada tiang bambu itu. Apa yang sedang mereka lakukan ? pengambian raport kah ? banyak pertanyaan yang ingin segera ku utarakan agar mendapatkan jawaban yang pasti. Tetapi semua itu seakan hilang ketika ada remaja mungkin seumuranku berdiri di sisi kiri dan berkata "Mari ikut upacara mbak." Kata gadis itu dengan senyuman mengembang indah menghiasi wajah hitam manisnya.
"upacara ?" tanyaku dengan penuh kesiriusan. Dan anak itu tidak menjawab apa, selain menarik tanganku dan masuk pada barisan paling belakang. Yang mengisyaratkan agar aku mengikuti upacara bersama mereka dan terjawablah semua pertanyaanku. Untuk pertama kalinya aku mengikuti upacara dengan serius dan tanpa hukuman sama sekali. Ada perbedaannya yang sangat menancap pada saat mereka menyakikan lagu wajib nasional. Mereka menyanyikannya dengan penuh semangat sampai-sampai berteriak, berbeda dengan kami anak muda di sekolah seakan malu jika menyanyikan lagi wajib nasional bahkan tidak ada suara yang keluar dari murid kami. Begitu pula pada saat pembacaan Dasar Negara Pancasila mereka mengucapkannya dengan sangat lantang dan penuh rasa kebanggaan, berbeda pula dengan kami seakan takut dan malas dalam mengucapkan setiap kata pada Dasar Negara. kejadian itu membuatku belajar dan hanya pada pemukiman inilah semangat Perjuangan itu berkobar. Meskipun para pahlawan telah gugur, kita lah yang harus bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara Bangsa ini. Tidak salah jika pemukiman ini di sebut sebagai pemukiman Perjuangan. Warganya pun selalu berjuang dalam segala keadaan.
Seusai upacara aku membantu ayah untuk mengajar di sekolah mungil tetapi sangat nyaman. Muridnya pun beraneka ragam, dari yang muda sampai yang tua pun lengkap hanya ada di sekolah Perjuangan. Inilah salah sat bukti bahwa mereka sangan mencintai Bangsanya bagaimana pun keadaannya dan permasalahannya. "Aku ingin menjadi membelantas kolupsi" teriak seorang bocah di tengah keheningan kelas. Aku hanya bisa tersenyum dan meneteskan air mata. Air mata haru dan bahagia, di saat seperti masih ada saja orang yang cinta terhadap Negara dan tanah airnya, dan itu adalah balita berusia 3 tahun penderita tuna netra.
Nama*:Ma'ruf abadi
Jenis Kelamin:Laki-laki
Email*:marufabadi@gmail.com



Powered by EmailMeForm



Popular Posts