Tulis disini: aligenius_45@yahoo.com

Judul*:IJTIHAD
Isi*:Islam adalah salah satu agama yang mana para umatnya dalam segi muamalah dan Ubudiyah telah diatur dan dicantumkan kitab suci al qur'an. Akan tetapi al Qur'an tidak menjelaskan secara detail hal tersebut. Oleh karena nabi Muhammad lebih rinci melalui hadits-hadist beliau. Seiring berkembangnya agama Islam masalah- masalah baru timbul dalam hukum Islam. Untuk mencari pemecahan masalah itu para ulama yang terdahulu sebagai penerus para nabi, mulai melakukan usaha untuk menemukan penjelasan yang paling baik yang tidak betentangan dengan syar'i yang biasa disebut dengan istilah ijtihad.
Ijtihad adalah mencurahkan segenap upaya untuk mendapatkan hukum syariat dari sumber aslinya. Ijtihad dalam hukum Islam merupakan bagian dari Islam, keduanya tidak dapat dilepaskan. Keduanya akan tetap menyatu dan saling membutuhkan satu sama lain. Hal ini perlu dilaksanakansecara terus menerus guna mengisi kekosongan hukum. Hal ini disebabkan ijtihad pada ulama terdahulu tidak dapat mencakup semua hal secara detail. Sedangkan ijtihad yang dilaksanakan tidak boleh menyimpang dari prinsip-prinsip kemaslahatan dan harus sesuai dengan syariat.



Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa, ijtihad berarti; mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Sedang menurut pengertian syara' ijtihad adalah Menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum syara' dengan jalan memetik/mengeluarkan dari kitab dan sunnah.
Adapun pengertian ijtihad ialah: Mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama (syara'), melalui salah satu dalil syara' dan dengan cara tertentu. Tanpa dalil syara' dan tanpa cara tertentu, maka hal tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan hal tersebut tidak dinamakan ijtihad.
Ijtihad mempunyai peranan yang penting dalam kaitannya pengembangan hukum Islam. Sebab, dalam kenyataannya di dalam Al-Qur'an terdapat ayat-ayat Muhkamat (jelas kandungannya) dan ada yang Mutasyabihat (memerlukan penafsiran (belum terang). Dari sinilah, sehingga ajaran Islam selalu menganjurkan agar manusia menggunakan akalnya. Apalagi agama Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (Rahmat bagi seluru alam) membuat kesediaannya dalam menerima perkembangan yang dialami umat manusia. Sehingga secara pasti cocok dan tepat untuk diterapkan dalam setiap waktu dan tempat. Maka peranan ijtihad semakin penting untuk membuktikan keluasan dan keluwesan hukum Islam.
Mahmud Syaltut berpendapat, bahwa ijtihad atau yang biasa disebut ar-ra'yu mencakup dua pengertian :
1. Penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara eksplisit oleh al-Qur'an dan as-Sunnah.
2. Penggunaan fikiran dalam mengartikan, menafsirkan dan mengambil kesimpulan dari sesuatu ayat atau hadits.

2. Dasar Ijtihad
Ijtihad bisa sumber hukumnya dari al-qur'an dan Al-Hadis yang menghendaki digunakannya ijtihad.
1. Firman Allah dalam Surat An-Nisa' Ayat 59
                              
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.". (Q. S. An-Nisa': 59).
2. Sabda Rosulullah SAW
Sabda Rosullullah Saw yang artinya: "Dari mu'adz bin Jabal ketika Nabi Muhammad SAW mengutusnya ke Yaman untuk bertindak sebagai hakim beliau bertanya kepada Mu'adz apa yang kamu lakukan jika kepadamu diajukan suatu perkara yang harus di putuskan? Mua'dz menjawab, "aku akan memutuskan berdasarkan ketentuan yang termaktuk dalam kitabullah" nabi bertanya lagi "bagaimana jika dalam kitab Allah tidak terdapat ketentuan tersebut?" Mu'adz menjawab, " dengan berdasarkan sunnah Rosulullah". Nabi bertanya lagi, "bagaimana jika ketentuan tersebut tidak terdapat pula dalam sunnah rosullullah?" Mu'adz menjawab, "aku akan menjawab dengan fikiranku, aku tidak akan membiarkan suatu perkara tanpa putusan" , lalu Mu'adz mengatakan, " Rosullulah kemudian menepuk dadaku seraya mengatakan, segala puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepada utusanku untuk hal yang melegakan".
Yang artinya: "bila seorang hakim akan memutuskan masalah atau suatu perkara, lalu ia melakukan ijtihad, kemudian hasilnya benar, maka ia memperoleh pahala dua (pahala ijtihad dan pahala kebenaran hasilnya). Dan bila hasilnya salah maka ia memperoleh satu pahala (pahala melakukan ijtihad).

3. Macam-Macam Ijtihad yang Dikenal dalam Syariat Islam Antara Lain:
a. Ijma'
Yaitu menurut bahasa artinya sepakat, setuju, atau sependapat. Sedangkan menurut istilah adalah kebulatan pendapat ahli ijtihad umat Nabi Muhammad SAW sesudah beliau wafat pada suatu masa, tentang hukum suatu perkara dengan cara musyawarah. Hasil dari Ijma' adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
b. Qiyas
yaitu berarti mengukur sesuatu dengan yang lain dan menyamakannya. Dengan kata lain Qiyas dapat diartikan pula sebagai suatu upaya untuk membandingkan suatu perkara dengan perkara lain yang mempunyai pokok masalah atau sebab akibat yang sama.
Adapun rukun dari qiyas adalah sebagai berikut:
1. Ashl atau pokok yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat menganalogikan.
2. Far'u atau cabang yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya yang akan dipersamakan hukumnya dengan ashl yang disebu maqis
3. Hukum Ashl yaitu hukum syara', yang telah ditentukan nash
4. Illat yaitu sifat yang terdapat pada ashl.
Contohnya adalah pada surat Al Isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan 'ah', 'cis', atau 'hus' kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua.
c. Istihsan
Yaitu suatu proses perpindahan dari suatu Qiyas kepada Qiyas lainnya yang lebih kuat atau mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima untuk mencegah kemudharatan atau dapat diartikan pula menetapkan hukum suatu perkara yang menurut logika dapat dibenarkan. Contohnya, menurut aturan syara', kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syara' memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
d. Mushalat Murshalah
Yaitu menurut bahasa berarti kesejahteraan umum. Adapun menurut istilah adalah perkara-perkara yang perlu dilakukan demi kemaslahatan manusia. Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat.
e. Sududz Dzariah
yaitu menurut bahasa berarti menutup jalan, sedangkan menurut istilah adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat. Contohnya adalah adanya larangan meminum minuman keras walaupun hanya seteguk, padahal minum seteguk tidak memabukan. Larangan seperti ini untuk menjaga agar jangan sampai orang tersebut minum banyak hingga mabuk bahkan menjadi kebiasaan.
f. Istishab
yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan telah ditetapkan di masa lalu hingga ada dalil yang mengubah kedudukan hukum tersebut. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
g. Urf
yaitu berupa perbuatan yang dilakukan terus-menerus (adat), baik berupa perkataan maupun perbuatan. Contohnya adalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.4
4. Syarat-Syarat Mujtahid
Syarat-syarat umum yang disepakati oleh para ulama' menurut Dr. Yusuf Qordhowi sebagai berikut:
1. Harus mengetahui Al-Qur'an dan ulumul Qur'an:
a. Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat
b. Mengetahui sepenuhnya sejarah pengumpulan atau penyusunan al-qur'an.
c. Mengetahui sepenuhnya ayat-ayat makiyah dan madaniyah, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, dan sebagainya
d. Menguasai ilmu tafsir, pengetahuan tentang pemahaman al-qur'an.
2. Mengetahui As-sunah dan ilmu Hadits
3. Mengetahui bahasa arab
4. Mengetahui tema-tema yang sudah merupakan ijma'
5. Mengetahui usul fiqih
6. Mengetahui maksud-maksud sejarah
7. Mengenal manusia dan alam sekitarnya
8. Mempunyai sifat adil dan taqwa
5. Tingkatan-Tingkatan Mujtahid
Dilihat dari luas atau sempitnya cakupan bidang ilmu yang diijtihadkan, mujtahid terbagi menjadi empat tingkatan:
1. Mujtahid Mutlaq / Mustaqil Fisy Syar'i
Mujtahid yang berkemampuan secara mandiri dalam mengijtihadkan seluruh masalah hukum syari'at dengan norma, kaidah istinbath (penyimpulan hukum), dan prosedur panggilan hukum ciptaan sendiri.
2. Mujtahid Muntasib
Mujtahid yang berijtihadnya terikat metologi, norma, dan kaidah istinbath ( bebas, merdeka) tertentu, meskipun hasil ijtihadnya dalam bidang furu'iyah (cabang masalah) bisa berbeda.
3. Mujtahid Fil Madzhab / Mujtahid Takhrij
Mujtahid yang terikat dengan imam madzahab tertentu, baik dalam metodologi istinbath maupun dalam hasil ijtihad. ai disebut mujtahid karena mempunyai kemampuan memecahkan hukum masalah baru yang rumusan hukumnya belum diperoleh dalam litetur fiqih madzhabnya. dalam hal berijtihad senantiasa mengikatkan diri dengan metode istinbath imam madzhab yang dianut, demikian pula dengan hukum furu' yang telah dihasilkan oleh imam madzhabnya. Ijtihd yang mereka lakukan brkisar pada masalah yang memang belum diijtihadkan oleh imamnya, selebihnya berkisar pada kesibukan menyeleksi beberapa qoul yang dikutip dari dokumentasi ijtihad imam madzhab untuk dinilai mana yang shahih dan mana yang dha'if.
4. Mujtahid Murajjih
Mujtahid yang menekuni studi banding ( muqoronah ) antara pendapat-pendapat berbeda dikalangan ulama, baik dalam satu madzhab maupun dalam berbagai madzhab. menilai mana yang lebih kuat dalilnya, namun mereka tidak melakukan ijtihad dalam memecahkan masalah baru.


6. Hukum Berijtihad
Hukum melakukan ijtihad adalah fardhu 'ain (wajib dilakukan oleh seriap orang yang mencukupi syarat-syarat di atas) bilaman terjadi pada dirinya sesuatu yang membutuhkan jawaban hukumnya. Hasil ijtihadnya itu wajib diamalkannya. Ia tidak boleh bertaklid kepada mujtahid lain. Melakukan ijtihad juga fardhu 'ain bilamana seseorang ditanya tentang suatu masalah yang sudah terjadi yang menghendaki segera pendapat jawaban tentang hukumnya, padahal tidak ada mujtahid lain yang akan menjelaskan hukumnya.
Melakukan ijtihad menjadi wajib kifayah jika disampingnya ada lagi mujtahid lain yang akan menjelaskan hukumnya. Bilamana satu di antara mereka melakukan ijtihad, berarti sudah memadai dan tuntutan sudah terbayar dari mujtahid yang lainnya.
Berijtihad hukumnya sunat apabila dalam 2 (dua) hal :
1. Melakukan ijtihad dalam hal-hal yang belum terjadi
2. Melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang belum terjadi berdasarkan pertanyaan seseorang.
Sedangkan berijtihad haram hukumnya dalam dua hal, yakni :
1. Berijtihad dalam hal-hal yang ada nash secara tegas (qath'i) baik berupa ayat atau hadis Rasullullah atau hasil ijtihad itu menyalahi 'ijma. Ijtihad hanya dibolehkan pada hal-hal yang selain itu.
2. Berijtihad bagi seseorang yang tidak melengkapi syarat-syarat seperti yang telah dijelaskan pada bagian syarat-syarat seorang mujtahd di atas. Orang yang tidak memenuhi syarat, ijtihadnya tidak akan menemukan kebenaran, tetapi bisa menyesatkan dan berarti berbicara dalam agama Allah tanpa ilmu dan hukumnya adalah haram.
7. Kedudukan Ijtihad
Berbeda dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
 Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.
 Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak berlaku pada masa / tempat yang lain.
 Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.
 Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.
 Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.
8. Ruang Lingkup Ijtihad
Ruang lingkup ijtihad ialah furu' dan dhoniah yaitu masalah-masalah yang tidak ditentukan secara pasti oleh nash Al-Qur'an dan Hadist. Hukum islam tentang sesuatu yang ditunjukkan oleh dalil Dhoni atau ayat-ayat Al-qur'an dan hadis yang statusnya dhoni dan mengandung penafsiran serta hukum islam tentang sesuatu yang sama sekali belum ditegaskan atau disinggung oleh Al-qur'an, hadist, maupan ijma' para ulama' serta yang dikenal dengan masail fiqhiah dan waqhiyah berijtihad dalam bidang-bidang yang tak disebutkan dalam Al-qur'an dan hadist dapat ditempuh dengan berbagai cara :
1. Qiyas atau analogi adalah salah satu metode ijtihad, telah dilakukan sendiri oleh rosulullah SAW. Meskipun sabda nabi merupakan sunah yang dapat menentukan hukum sendiri
2. Memelihara kepentingan hidup manusia yaitu menarik manfaat dan menolak madlarat dalam kehidupan manusia. Menurut Dr. Yusuf qordhowi mencakup tiga tingkatan:
a. Dharuriyat yaitu hal-hal yang penting yang harus dipenuhi untuk kelangsung hidup manusia.
b. Hajjiyat yaitu hal-hal yang dibutuhkan oleh manusia dalam hidupnya.
c. Tahsinat yaitu hal-hal pelengkap yang terdiri atas kebisaan dan akal yang baik.
9. Cara Berijtihad
Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat methode-methode antara lain sebagai berikut :
a. Qiyas
Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan oleh al-Qur'an dan as-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh al-Qur'an atau as-Sunnah, karena ada sebab yang sama. Contoh: Menurut surat al-Isra' 23; seseorang tidak boleh berkata uf ( cis ) kepada orang tua. Maka hukum memukul, menyakiti dan lain-lain terhadap orang tua juga dilarang, atas dasar analogi terhadap hukum cis tadi. Karena sama-sama menyakiti orang tua.
Pada zaman Rasulullah saw pernah diberikan contoh dalam menentukan hukum dengan dasar Qiyas tersebut. Yaitu ketika ' Umar bin Khathabb berkata kepada Rasulullah saw : Hari ini saya telah melakukan suatu pelanggaran, saya telah mencium istri, padahal saya sedang dalam keadaan berpuasa. Tanya Rasul : Bagaimana kalau kamu berkumur pada waktu sedang berpuasa ? Jawab 'Umar : tidak apa-apa. Sabda Rasul : Kalau begitu teruskanlah puasamu.
b. Ijma' = konsensus = ijtihad kolektif.
Yaitu persepakatan ulama-ulama Islam dalam menentukan sesuatu masalah ijtihadiyah. Ketika 'Ali bin Abi Thalib mengemukakan kepada Rasulullah tentang kemungkinan adanya sesuatu masalah yang tidak dibicarakan oleh al-Qur'an dan as-Sunnah, maka Rasulullah mengatakan : " Kumpulkan orang-orang yang berilmu kemudian jadikan persoalan itu sebagai bahan musyawarah ". Yang menjadi persoalan untuk saat sekarang ini adalah tentang kemungkinan dapat dicapai atau tidaknya ijma tersebut, karena ummat Islam sudah begitu besar dan berada diseluruh pelosok bumi termasuk para ulamanya.
c. Istihsan = preference
Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih sayang dan lain-lain. Oleh para ulama istihsan disebut sebagai Qiyas Khofi ( analogi samar-samar ) atau disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh dengan Qiyas kepada hukum lain atas pertimbangan kemaslahatan umum. Apabila kita dihadapkan dengan keharusan memilih salah satu diantara dua persoalan yang sama-sama jelek maka kita harus mengambil yang lebih ringan kejelekannya.
d. Mashalihul Mursalah = utility
Yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syari'at.
Perbedaan antara istihsan dan mashalihul mursalah ialah : istihsan mempertimbangkan dasar kemaslahan ( kebaikan ) itu dengan disertai dalil al-Qur'an atau al-Hadits yang umum, sedang mashalihul mursalah mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan dengan tanpa adanya dalil yang secara tertulis exsplisit dalam al-Qur'an atau al-Hadits.

BAB III
KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwasanya:
1. Ijtihad ialah Curahan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama (syara'), melalui salah satu dalil syara' dan dengan cara tertentu. Tanpa dalil syara' dan tanpa cara tertentu, maka hal tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan hal tersebut tidak dinamakan ijtihad.
2. Tingkatan mujtahid dibagi mnjadi 4: Mujtahid Mutlaq / Mustaqil Fisy Syar'I, Mujtahid Muntasib, Mujtahid Fil Madzhab / Mujtahid Takhrij dan Mujtahid Murajjih.
3. Dalam menentukan atau menetapkan hukum-hukum ajaran Islam para mujtahid telah berpegang teguh kepada sumber-sumber ajaran Islam.
4. Ijtihad bisa sumber hukumnya dari al-qur'an dan alhadis.
5. Untuk hukum berijtihad bilamana syarat-syarat mujtahid tersebut di atas telah cukup pada diri seseorang, hukum melakukan ijtihad baginya bisa fardhu 'ain, bisa fardhu kifayah, bisa mandub (sunnat) dan bisa pula haram.
6. Dalam ruang lingkup ijtihad ialah furu' dan dhoniah yaitu masalah-masalah yang tidak ditentukan secara pasti oleh nash Al-Qur'an dan Hadist.
7. Berijtihad juga ada caranya (metode) yakni 4 macam Qiyas,jima', Istihsan dan Mashalihul Mursala
Nama*:ALI MASYKUR
Jenis Kelamin:Laki-laki
Email*:aligenius_45@yahoo.com



Powered by EmailMeForm



Popular Posts